Ilustrasi: Dilema Kebahasaan di Era Globalisasi (Dok. Istimewa)
Oleh: Freya Esia Carmesa
Di tengah gemerlap modernisasi dan globalisasi, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga kekayaan bahasanya. Dengan lebih dari 700 bahasa daerah yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, Indonesia adalah salah satu negara dengan keragaman linguistik terbesar di dunia. Namun, di balik kebanggaan ini, ada ancaman nyata yang terus menghantui: kepunahan bahasa daerah.
Bahasa adalah inti dari identitas budaya
Setiap bahasa membawa cerita, tradisi, dan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sayangnya, di banyak wilayah, pewarisan ini mulai terputus. Bahasa daerah semakin jarang digunakan, khususnya oleh generasi muda yang lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing seperti Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena ini mencerminkan pergeseran nilai dalam masyarakat, di mana relevansi bahasa sering diukur berdasarkan manfaat praktisnya dalam pendidikan atau pekerjaan.
Di daerah perkotaan, bahasa daerah hampir tidak terdengar lagi. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang didominasi oleh bahasa nasional atau internasional. Bahasa ibu, yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas mereka, sering kali hanya dikenang sebagai sesuatu yang kuno. Hal ini diperparah oleh minimnya penggunaan bahasa daerah dalam media modern. Mayoritas konten digital, seperti film, musik, dan media sosial, menggunakan bahasa Indonesia atau Inggris, meninggalkan bahasa daerah dalam bayang-bayang.
Di sisi lain, globalisasi membawa tantangan baru dalam bentuk dominasi bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Pendidikan di Indonesia semakin banyak yang mengadopsi pendekatan bilingual atau bahkan full-English untuk meningkatkan daya saing di tingkat internasional. Sementara langkah ini memberikan manfaat besar dalam membekali generasi muda untuk bersaing secara global, dampaknya terhadap bahasa lokal tidak bisa diabaikan. Bahasa daerah semakin terpinggirkan, bahkan oleh bahasa nasional, yang seharusnya menjadi pelindung identitas lokal.
Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menghadapi tantangan ini melalui berbagai program pelestarian bahasa daerah. Pengajaran bahasa lokal sebagai muatan lokal di sekolah adalah salah satu langkah yang diambil. Selain itu, pemerintah juga mendokumentasikan bahasa-bahasa daerah yang terancam punah dalam bentuk kamus dan materi pembelajaran. Namun, efektivitas program ini sering kali terbatas oleh kurangnya minat dari generasi muda.
Untuk menjaga relevansi bahasa daerah di era modern, diperlukan pendekatan yang lebih inovatif. Teknologi dan media digital menawarkan peluang besar. Konten digital berbasis bahasa daerah, seperti video, musik, atau aplikasi, dapat menjadi jembatan untuk menarik perhatian generasi muda. Beberapa komunitas di daerah telah memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan bahasa lokal mereka, menghasilkan konten kreatif yang relevan dengan gaya hidup anak muda saat ini.
Bahasa daerah adalah napas dari kebudayaan Indonesia. Jika bahasa-bahasa ini hilang, maka bagian penting dari sejarah dan identitas bangsa juga ikut lenyap. Untuk melestarikannya, diperlukan upaya kolektif dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Pelestarian bahasa bukan hanya tentang melindungi kata-kata, tetapi juga menjaga warisan yang tidak ternilai bagi generasi mendatang.
Di tengah gempuran globalisasi, Indonesia memiliki peluang untuk membuktikan bahwa modernisasi tidak harus berarti kehilangan jati diri. Dengan strategi yang tepat, bahasa daerah dapat terus hidup dan berkembang, menjadi simbol keberagaman yang tetap relevan dalam dunia yang semakin terhubung. Dalam perjalanan panjang ini, bahasa daerah tidak hanya menjadi pengingat akan masa lalu, tetapi juga harapan untuk masa depan yang lebih kaya akan identitas budaya.