Foto: Logo Universitas Wijayakusuma Purwokerto
Oleh:Asnani Huda (23110111834), Mukhlis Irawan (23110111849), Solikhin (23110111865)
Dr. Eti Mul Erowati, S.H., M.Hum.
Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto
A. Latarbelakang Masalah
Pernikahan merupakan institusi fundamental dalam masyarakat yang mengikat individu dalam hubungan yang sah. Dalam konteks globalisasi, semakin banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang memilih untuk menikah di luar negeri, baik karena alasan pekerjaan, pendidikan, maupun perbedaan keyakinan. Namun, pernikahan yang dilakukan di luar negeri tidak selalu diakui secara hukum oleh Indonesia. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sistem hukum antara negara tempat pernikahan berlangsung dan hukum Indonesia itu sendiri.
Menurut Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan di luar negeri hanya dianggap sah jika memenuhi asas Lex Loci Celebrationis, yang berarti harus sesuai dengan hukum negara tempat pernikahan dilangsungkan dan tidak bertentangan dengan hukum Indonesia. Prinsip ini menjadi kompleks ketika hukum negara tempat pernikahan bertentangan dengan hukum Indonesia, khususnya dalam kasus pernikahan beda agama atau pernikahan sesama jenis.
Kendala ini semakin diperparah oleh kebutuhan untuk mendaftarkan pernikahan di Indonesia setelah menikah di luar negeri, yang melibatkan berbagai dokumen dan prosedur hukum. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang proses pendaftaran, legalitas, dan implikasi hukum dari pernikahan yang dilaksanakan di luar negeri sangat penting bagi pasangan WNI. Tanpa pemahaman ini, pasangan dapat menghadapi masalah hukum yang serius di kemudian hari, termasuk dalam hal hak dan kewajiban mereka serta status anak yang lahir dari pernikahan tersebut.
B. Pembahasan
Pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita yang bertujuan membentuk keluarga bahagia, berdasarkan, menurut Pasal 1 Undangundang Nomor 1 tentang Perkawinan Tahun 1974. Dalam konteks internasional, perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri oleh Warga Negara Indonesia (WNI) memerlukan pemahaman khusus terhadap kaidah hukum dalam negeri dan internasional. Artikel ini membahas tentang proses pendaftaran, legalitas, dan implikasi hukum menikah di luar negeri.
Perkawinan di luar negeri sah apabila memenuhi dua asas hukum, yang pertama, Lex loci Celebrationis. Dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Indonesia menganut asas Lex loci Celebrationis dengan tambahan syarat bahwa perkawinan tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum Indonesia. Artinya, meskipun perkawinan itu sah di negara tempat perkawinan itu dilangsungkan, namun perkawinan itu harus memenuhi ketentuan hukum Indonesia agar dapat diakui secara resmi. Pernikahan dilakukan sesuai dengan hukum negara dimana pernikahan tersebut dilangsungkan.
Prinsip ini dapat menimbulkan polemik apabila hukum di negara tempat pernikahan bertentangan dengan hukum negara asal pasangan, misalnya dalam kasus pernikahan beda agama atau pernikahan sesama jenis, yang tidak diakui di Indonesia meskipun sah menurut hukum negara lain.
Asas yang kedua tidak melanggar asas kewarganegaraan yang merupakan salah satu asas yang digunakan dalam hukum perdata internasional untuk menentukan hukum mana yang berlaku bagi individu berdasarkan status kewarganegaraannya. Asas ini menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang merupakan landasan utama bagi penegakan hukum mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang, termasuk perkawinan, pewarisan, dan segi-segi lain, sekalipun berada di luar negeri. Dalam beberapa kasus, prinsip-prinsip kewarganegaraan mungkin bertentangan dengan undang-undang di negara lain (misalnya undang-undang tentang pernikahan beda agama atau pernikahan sesama jenis adalah sah di negara lain tetapi bertentangan dengan undang-undang di Indonesia).
Pasal 56 Ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa pernikahan sah apabila dilaksanakan sesuai hukum di negara tempat dilangsungkan dan tidak melanggar ketentuan hukum di Indonesia. Setelah menikah, pasangan harus melaporkan pernikahan tersebut kepada Perwakilan Republik Indonesia (KBRI/KJRI) dan mendaftar di Indonesia dalam waktu satu tahun dengan dokumentasi lengkap yaitu akta nikah terjemahan bahasa Indonesia dari negara pernikahan dan paspor dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) suami-istri, fotokopi akta kelahiran dan kartu keluarga, foto berwarna suami-istri, dan pencatatan pernikahan ini dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) untuk Muslim atau Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) untuk non-Muslim.
Pernikahan yang sah secara hukum membawa implikasi berikut diantaranya hak dan kedudukan suami-istri yang memiliki hak dan kewajiban yang setara untuk mempertahankan kehidupan rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 30–34 UU Perkawinan. Kedudukan anak yang lahir dari pernikahan sah memiliki hubungan hukum dengan kedua orang tua, termasuk hak waris dan perlindungan hukum. Dan harta yang diperoleh selama pernikahan menjadi milik bersama, kecuali ditentukan lain melalui perjanjian pranikah.
Masalah utama dari pernikahan beda agama di luar negeri yaitu tidak semua negara mengakui pernikahan berdasarkan hukum agama sebagaimana diwajibkan di Indonesia. Banyak negara menerapkan sistem pernikahan sipil yang terpisah dari agama, di mana pernikahan hanya sah jika dicatat secara sipil. Hal ini dapat menjadi kendala bagi pasangan yang ingin memastikan pernikahannya sah secara agama sekaligus hukum negara tujuan.
Di negara-negara seperti Australia dan negara-negara Eropa, perkawinan sipil seringkali merupakan satu-satunya mekanisme perkawinan yang sah, sementara aspek agama dianggap opsional. Berbeda dengan Indonesia yang menikah menurut agama merupakan syarat sahnya perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat 1).
Sulitnya mendaftarkan perkawinan beda agama di Indonesia karena hukum Indonesia mengharuskan perkawinan dilakukan berdasarkan hukum agama yang sama.
Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Pasangan beda agama seringkali menikah di negara-negara yang mengakui pernikahan sipil, seperti Australia, Singapura, dan Belanda. Sistem perkawinan sipil ini memperbolehkan pasangan untuk menikah tanpa memerlukan persetujuan agama.
Tata cara Indonesia mengatur bahwa setelah menikah di luar negeri, pasangan tersebut harus mendaftarkan pernikahannya di Indonesia agar diakui secara resmi. Termasuk pengurusan dokumen seperti akta nikah asing yang sudah dilegalisir dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Contoh kasus yang terjadi di Indonesia Pernikahan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen menikah di luar negeri karena perbedaan keyakinan. Keduanya menikah di Perth, Australia pada tahun 2003. Ari beragama Kristen, sedangkan Nia beragama Muslim. Kemudian Pratama Arhan menikah dengan Nurul Azizah di Tokyo, Jepang, Minggu 20 Agustus 2023, pernikahan mereka adalah pernikahan satu agama.
C. Kesimpulan
Pernikahan yang dilaksanakan di luar negeri oleh Warga Negara Indonesia memerlukan perhatian khusus terhadap hukum yang berlaku baik di negara tempat pernikahan berlangsung maupun di Indonesia. Penting bagi pasangan untuk memahami bahwa meskipun pernikahan mereka sah menurut hukum negara lain, hal tersebut tidak menjamin pengakuan resmi di Indonesia tanpa memenuhi syarat-syarat tertentu.
Aspek Lex Loci Celebrationis dan kewarganegaraan menjadi faktor krusial dalam menentukan legalitas pernikahan. Pasangan yang menikah di luar negeri harus melaporkan pernikahan mereka kepada Perwakilan Republik Indonesia dan mendaftarkannya di dalam negeri dengan dokumen yang lengkap. Dengan demikian, pemahaman yang baik tentang prosedur hukum ini dapat membantu pasangan WNI menghindari masalah di masa depan, melindungi hak-hak mereka, dan memastikan bahwa semua aspek hukum terkait pernikahan mereka terpenuhi dengan baik.