Minimnya Cerita Anak di Masa Sekarang Sebagai Media Pembentukan Moral Generasi Mendatang

Ilustrasi: Liputan6.com

Oleh: Rani Azzahra*

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan budaya populer, cerita anak yang sarat akan nilai moral semakin sulit ditemukan. Dahulu, dongeng seperti Malin Kundang, Timun Mas, dan Bawang Merah Bawang Putih kerap diceritakan dari generasi ke generasi, memberikan pesan moral yang jelas kepada anak-anak. Namun, saat ini, cerita-cerita semacam itu mulai tergeser oleh hiburan digital yang lebih menonjolkan aksi, komedi, atau fantasi belaka tanpa menyentuh aspek moral yang mendalam. 

Minimnya cerita anak bermuatan nilai moral dalam media modern merupakan fenomena yang perlu mendapat perhatian serius. Media seperti televisi, platform streaming, dan permainan digital kini lebih mengedepankan aspek visual dan sensasi, dibandingkan dengan menyampaikan pesan moral yang dapat membentuk karakter anak. Anak-anak yang seharusnya belajar mengenai empati, kejujuran, dan kerja keras dari cerita-cerita tersebut kini lebih sering terpapar pada konten yang tidak memberikan landasan etika yang kuat. 

Selain itu, kemudahan akses ke teknologi membuat cerita tradisional kehilangan daya tariknya di mata anak-anak. Buku cerita bergambar atau dongeng yang diceritakan langsung oleh orang tua perlahan-lahan tergantikan oleh video animasi yang lebih menarik secara visual. Sayangnya, tidak semua konten animasi tersebut membawa pesan moral yang baik. Banyak yang hanya berfokus pada hiburan tanpa menyentuh aspek edukatif. 

Minimnya cerita anak dengan pesan moral juga berpengaruh pada kemampuan anak dalam menyelesaikan konflik secara sehat. Cerita-cerita tradisional sering kali mengajarkan cara menghadapi kesulitan, mengatasi rasa takut, atau menyelesaikan masalah dengan cara yang baik. Tanpa eksposur pada cerita seperti ini, anak-anak berpotensi kehilangan kesempatan untuk belajar dari pengalaman karakter-karakter tersebut, yang akhirnya memengaruhi cara mereka bertindak dalam kehidupan nyata. 

Dalam hal ini, peran orang tua dan pendidik menjadi sangat penting. Mereka perlu aktif memilihkan cerita yang dapat memberikan nilai moral bagi anak. Membacakan buku cerita dengan pesan-pesan positif atau menceritakan kembali dongeng-dongeng klasik dapat menjadi langkah awal untuk mengisi kekosongan ini. Selain itu, mereka juga bisa memperkenalkan cerita lokal yang kaya akan nilai budaya dan moral agar anak memiliki fondasi etika yang kuat. 

Pemerintah dan industri kreatif juga memiliki peran krusial dalam menyediakan alternatif hiburan yang edukatif. Dukungan terhadap produksi buku cerita, animasi, dan film anak yang mengandung nilai-nilai moral perlu ditingkatkan. Program televisi atau konten digital yang mendidik seharusnya mendapatkan tempat yang lebih besar di tengah arus hiburan modern. 

Tidak hanya itu, revitalisasi cerita anak tradisional melalui adaptasi ke dalam format modern seperti aplikasi interaktif, buku digital, atau animasi juga bisa menjadi solusi. Dengan cara ini, cerita-cerita yang sarat nilai moral dapat kembali menarik perhatian generasi muda yang telah terbiasa dengan teknologi. 

Penting untuk diingat bahwa pembentukan moral anak adalah investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa. Jika dibiarkan terus-menerus tanpa perhatian, minimnya cerita anak dengan nilai moral dapat berdampak pada generasi mendatang yang kurang memiliki empati, integritas, dan rasa tanggung jawab. 

Maka, sudah saatnya kita semua orang tua, pendidik, pemerintah, dan pelaku industri kreatif, bersatu dalam upaya menghidupkan kembali cerita anak sebagai media pembentukan moral. Dengan demikian, generasi mendatang dapat tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bermoral dan berkarakter.

* Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال