Pemanfaatan Kekayaan Pangan di NTT yang Belum Optimal dan Dampaknya Terhadap Stunting

Ilustrasi: Poskota.co

Oleh: Muhammad Sofan*

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menjadi perhatian utama karena tingginya prevalensi stunting yang mencapai angka 37,8% menurut Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021.  Angka ini sangat jauh dari harapan, mengingat NTT merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, termasuk berbagai jenis pangan lokal yang sangat potensial. Ironisnya, kekayaan pangan lokal ini seolah tidak mampu mencegah terjadinya stunting, sebuah kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis pada seribu hari pertama kehidupan. Kenapa hal ini bisa terjadi? Apa yang menjadi hambatan utama dalam mengatasi masalah ini? 

Salah satu alasan utama tingginya angka stunting di NTT adalah kemiskinan yang meluas dan terbatasnya akses terhadap pangan bergizi. NTT termasuk dalam daftar provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Keluarga dengan pendapatan rendah sering kali tidak mampu membeli makanan bergizi seperti daging, ikan, atau susu. Selain itu, akses ke pangan yang bergizi juga terkendala oleh infrastruktur yang buruk, terutama di daerah terpencil.  

Selain faktor ekonomi, kurangnya edukasi gizi menjadi masalah besar di NTT. Banyak orang tua di daerah ini, terutama di pedesaan, belum memahami pentingnya pola makan yang seimbang dan gizi yang tepat bagi pertumbuhan anak. Banyak keluarga yang tidak menyadari bahwa makanan bergizi, yang seharusnya menjadi bagian utama dalam menu sehari-hari, tidak terbatas pada nasi atau mie instan. Pangan lokal yang tersedia di sekitar mereka, seperti jagung, ubi-ubian, kacang-kacangan, hingga hasil laut yang melimpah, ternyata bisa menjadi sumber protein, karbohidrat, dan vitamin yang sangat baik, namun tidak dimanfaatkan secara optimal. Pengetahuan yang terbatas tentang gizi seimbang membuat banyak keluarga gagal memberikan makanan yang bergizi bagi anak-anak mereka, yang berujung pada meningkatnya angka stunting. 

Masalah semakin rumit dengan ketergantungan pada bantuan pangan dari pemerintah dan lembaga donor. Bantuan yang datang sering kali terbatas pada pangan pokok seperti beras, sementara pangan lokal yang lebih bergizi seperti sorgum, jagung, atau ikan laut, kurang mendapat perhatian. Ketergantungan pada bantuan pangan ini justru menciptakan masalah baru. Masyarakat yang terus-menerus menerima bantuan pangan menjadi kurang mandiri dalam mengelola sumber daya pangan yang ada di sekitar mereka. Ketergantungan ini menghambat upaya jangka panjang untuk mengatasi masalah ketahanan pangan dan stunting secara berkelanjutan. 

Selain itu, lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah turut memperburuk situasi. Meski pemerintah pusat sudah merumuskan berbagai kebijakan untuk mengatasi stunting, pelaksanaannya sering kali tidak optimal di tingkat daerah. Pemerintah daerah sering kali kekurangan dana atau kapasitas untuk menjalankan program dengan efektif. Misalnya, dana desa yang seharusnya digunakan untuk pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan pangan lokal, malah sering kali digunakan untuk infrastruktur yang tidak langsung berhubungan dengan pengentasan stunting. Tidak jarang pula, program-program yang ada di lapangan tidak saling terkoordinasi dengan baik, sehingga dampaknya menjadi kurang maksimal. Di sisi lain, alokasi anggaran untuk sektor kesehatan dan gizi sering kali tidak mencukupi, mengingat adanya ketimpangan prioritas anggaran antara sektor-sektor yang lebih terlihat hasilnya dalam jangka pendek. 

Namun, di balik semua tantangan ini, NTT sebenarnya memiliki potensi besar untuk mengatasi stunting melalui pemanfaatan pangan lokal. Provinsi ini memiliki kekayaan alam yang melimpah, terutama pangan yang sangat cocok untuk kondisi geografis dan budaya masyarakat setempat. Jagung, sorgum, ubi jalar, kacang hijau, dan ikan merupakan pangan lokal yang sangat kaya gizi, namun jarang dimanfaatkan dengan optimal. Misalnya, jagung dan sorgum bisa menjadi alternatif pengganti nasi, yang selama ini menjadi pangan pokok, tetapi sering kali kurang memberikan manfaat gizi yang memadai. Ikan laut yang melimpah di NTT, jika diproses dengan baik, bisa menjadi sumber protein hewani yang terjangkau dan sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan anak. Namun, kendala distribusi dan pengolahan yang terbatas membuat pangan lokal ini tidak sampai ke banyak tangan yang membutuhkan.

Untuk mengatasi masalah ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memaksimalkan potensi pangan lokal. Pemerintah harus mendorong petani lokal untuk menanam lebih banyak tanaman yang kaya gizi, seperti kacang-kacangan dan sayuran, dan memberikan pelatihan tentang cara mengolah dan mendistribusikan hasil pertanian tersebut dengan lebih baik. Selain itu, edukasi gizi kepada masyarakat, terutama kepada ibu hamil dan ibu dengan anak balita, harus diperkuat. Pemerintah dan lembaga kesehatan harus lebih aktif dalam melakukan kampanye tentang pentingnya pemberian makanan bergizi di masa seribu hari pertama kehidupan anak.

Penting juga bagi pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur dan distribusi pangan. Pembangunan jalan dan fasilitas penyimpanan yang lebih baik, seperti gudang penyimpanan dingin untuk ikan, dapat membantu mengatasi masalah distribusi pangan yang tidak merata. Hal ini akan membuat pangan bergizi lebih mudah dijangkau oleh masyarakat di seluruh wilayah NTT, bahkan di daerah terpencil sekalipun.

Terakhir, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah harus diperkuat. Program-program pengentasan stunting harus direncanakan secara lebih terintegrasi dan dilaksanakan dengan pengawasan yang ketat. Anggaran yang dialokasikan untuk pemberdayaan pangan lokal dan program kesehatan gizi harus digunakan secara efisien dan tepat sasaran. Jangan sampai lagi masyarakat NTT terus bergantung pada bantuan pangan yang datang hanya sesekali, sementara potensi pangan lokal yang ada tidak dimanfaatkan secara maksimal.

Stunting di NTT adalah masalah yang sangat serius, namun bukan sesuatu yang tidak bisa diatasi. Dengan memanfaatkan kekayaan alam yang ada, meningkatkan edukasi gizi, dan memperbaiki infrastruktur serta koordinasi kebijakan, NTT bisa keluar dari masalah stunting yang menghambat perkembangan generasi mudanya. Ke depan, jika langkah-langkah konkret ini diambil, NTT bukan hanya akan bebas dari stunting, tetapi juga akan memiliki ketahanan pangan yang berkelanjutan.

* Seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai mahasiswa yang berkomitmen, saat kini saya fokus pada pengembangan keterampilan komunikasi yang luas untuk mendukung karir saya di masa depan, serta menulis merupakan kegemaran saya untuk mendukung karir saya, melalui tulisan ini saya harap bisa memberikan insight baik bagi siapapun yang membacanya.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال