Ilustrasi: PendidikanTradisional dalam Dunia Digital (Sumber: Tangselpos.id) |
Oleh: Muhammad Sofan*
Di era digital yang serba cepat, pendidikan tradisional menghadapi tantangan besar. Sistem yang selama ini mengandalkan metode konvensional, seperti ceramah, hafalan, dan ujian tertulis, tampaknya mulai ketinggalan zaman dalam memenuhi kebutuhan generasi baru, yaitu Gen Z. Generasi yang lahir di era internet ini tidak hanya terbiasa dengan teknologi, tetapi juga memiliki cara belajar dan harapan yang sangat berbeda.
Sekolah tradisional masih berpusat pada guru sebagai sumber utama informasi, dengan siswa sebagai pendengar pasif. Kurikulum yang kaku dan seragam sering kali tidak relevan dengan dunia kerja yang dinamis dan menuntut kreativitas. Padahal, Gen Z adalah generasi yang tumbuh dengan akses ke informasi tanpa batas melalui perangkat digital. Mereka tidak lagi bergantung pada guru atau buku teks untuk mendapatkan pengetahuan. YouTube, TikTok, dan platform belajar daring lainnya telah menjadi "guru baru" mereka.
Namun, ada ironi besar di sini. Meski Gen Z memiliki akses tak terbatas ke informasi, sistem pendidikan tradisional masih menilai mereka berdasarkan cara-cara lama: hafalan dan ujian standar. Siswa diukur berdasarkan kemampuan mereka mengingat fakta, bukan kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, atau berinovasi, keterampilan yang sangat dibutuhkan di dunia nyata.
Lebih parah lagi, pendidikan tradisional sering kali gagal memanfaatkan teknologi yang sudah menjadi bagian hidup Gen Z. Alih-alih mengintegrasikan alat digital dalam pembelajaran, banyak institusi justru melarang gadget di kelas. Hal ini menciptakan jurang antara cara belajar siswa di luar sekolah dan pengalaman mereka di dalam kelas.
Dampaknya? Kebosanan dan kurangnya motivasi belajar menjadi masalah yang sering ditemui. Banyak siswa Gen Z merasa bahwa sekolah tidak relevan dengan kehidupan mereka. Mereka mencari pengetahuan di luar ruang kelas, tetapi sistem pendidikan yang ada tidak siap mendukung eksplorasi mereka.
Tentu, pendidikan tradisional memiliki kelebihan. Nilai-nilai seperti kedisiplinan, tanggung jawab, dan etika tetap penting. Namun, jika sistem ini tidak beradaptasi, ia berisiko kehilangan relevansinya. Gen Z adalah generasi yang menuntut fleksibilitas, interaktivitas, dan koneksi emosional dalam proses belajar. Sistem pendidikan yang terlalu kaku hanya akan membuat mereka semakin menjauh.
Di sisi lain, beberapa sekolah dan guru mulai mencoba pendekatan baru. Ada yang mengadopsi model pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), di mana siswa diajak untuk memecahkan masalah dunia nyata. Ada pula yang memanfaatkan teknologi seperti aplikasi pendidikan, simulasi virtual, dan pembelajaran daring untuk membuat proses belajar lebih menarik.
Namun, langkah-langkah ini masih sporadis dan belum menjadi norma. Banyak institusi pendidikan yang masih terjebak dalam paradigma lama, dengan alasan kurangnya dana, pelatihan guru, atau ketakutan akan perubahan. Akibatnya, pendidikan kita tertinggal dari kebutuhan zaman.
Untuk memastikan bahwa pendidikan tetap relevan bagi Gen Z, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, integrasi teknologi harus menjadi prioritas. Sekolah tidak hanya perlu menggunakan alat digital sebagai pendukung pembelajaran, tetapi juga mengajarkan literasi digital agar siswa bisa menggunakan teknologi secara bijak dan produktif.
Kedua, kurikulum perlu lebih fleksibel dan relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Keterampilan seperti pemrograman, analisis data, kreativitas, dan kerja tim harus menjadi bagian dari pembelajaran.
Ketiga, guru perlu diberdayakan untuk menjadi fasilitator, bukan hanya pemberi informasi. Dengan demikian, siswa akan didorong untuk berpikir kritis, bertanya, dan mengeksplorasi pengetahuan secara mandiri.
Pendidikan tradisional tidak harus sepenuhnya ditinggalkan. Nilai-nilai dan struktur dasarnya masih bisa menjadi fondasi yang kuat. Namun, sistem ini harus bertransformasi agar bisa memenuhi kebutuhan generasi digital. Jika tidak, kita berisiko kehilangan potensi terbesar dari Gen Z generasi yang tidak hanya cerdas teknologi, tetapi juga penuh potensi untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Transformasi ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau institusi pendidikan, tetapi juga semua pihak, termasuk orang tua dan masyarakat. Karena pada akhirnya, pendidikan adalah investasi untuk masa depan. Dan masa depan itu adalah milik mereka Gen Z.
* Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa