Attention Deficit / Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah gangguan neurodevelopmental[1] yang paling umum didiagnosis di antara anak-anak usia sekolah. Gangguan ini ditandai oleh kesulitan memusatkan perhatian disertai hiperaktivitas dan impulsivitas, yang muncul sebelum usia 12 tahun, minimal dalam 2 setting tempat yang berbeda, misalnya di rumah dan di sekolah (Andrés Martin et al., 2018). Anak dengan gangguan ADHD terkadang memiliki risiko kesulitan di bidang akademik, konflik dengan teman sebaya hingga penurunan kepercayaan diri atau bisa disebut dengan minder[2]. Tulisan ini bertujuan menjelaskan penyebab biologis ADHD, dampaknya pada perkembangan anak, serta strategi intervensi[3] yang tepat berdasarkan temuan ilmiah.
ADHD merupakan sindrom kronik yang secara negatif dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari, termasuk kegiatan di rumah, hubungan interpersonal, dan pembelajaran di sekolah (Aprilia & Oktaria, 2017). Istilah attention deficit (kekurangan pemusatan perhatian) mengingat anak mengalami kesulitan untuk melakukan pemusatan perhatian terhadap tugas yang diberikan kepada mereka. Mereka mengalami kesulitan konsentrasi terhadap suatu tugas tertentu dalam suatu waktu. Walaupun mereka dikaruniai kelebihan motivasi yang baik, namun mereka kesulitan untuk mengerjakanya (Rokhim, 2017). Di sekolah, anak dengan ADHD sering tampak gelisah, tidak mengikuti instruksi, atau tiba-tiba berbicara tanpa menunggu giliran. Kondisi ini sering disalahartikan sebagai “nakal”, padahal berakar pada perbedaan fungsi otak.
Anak usia sekolah dasar yang memiliki ADHD menunjukkan beragam kelainan pada struktur dan aktivitas otak yang menjadi penyebab utama munculnya gangguan perhatian, kesulitan inhibisi respon, serta lemahnya ingatan dan pengambilan keputusan. Perubahan ini terutama terjadi pada beberapa area penting seperti korteks frontal, prefrontal, parietal, temporal, ganglia basalis termasuk kaudatus, girus, serta otak kecil. Selain itu, gangguan juga ditemukan pada jaringan fungsional otak seperti salience network, default mode network, dan dorsal attention network yang berperan dalam pengolahan stimulus, pengalihan fokus, dan pengaturan perhatian. Abnormalitas pada struktur dan konektivitas jaringan-jaringan tersebut menyebabkan disfungsi eksekutif dan kognitif, sehingga anak dengan ADHD memproses informasi dan merespons lingkungan secara berbeda dibandingkan anak dengan perkembangan tipikal (Rokhim, 2017).
Hal ini menunjukkan bahwa gangguan yang dialami anak dengan ADHD bukan sekadar masalah perilaku, tetapi berakar pada mekanisme neurobiologis yang kompleks sehingga membutuhkan pemahaman serta penanganan yang tepat. Faktor lingkungan seperti kelahiran prematur, paparan alkohol atau nikotin selama kehamilan, serta stres masa kanakkanak dapat memperkuat risiko munculnya ADHD. Di dalam penelitian disebutkan bahwa anak-anak ADHD memiliki performa lebih buruk dibandingkan dengan anak-anak normal. Performanya baik di sekolah maupun rumah menjadi semakin buruk ketika memiliki riwayat komorbiditas dengan gangguan kejiwaan lainnya. Sebagian anak- anak ADHD memiliki komplikasi gangguan lainnya seperti disleksia dan kesulitan belajar (Kóbor et al., 2015).
Pang et al. (2021) mengungkapkan bahwa ADHD dapat menurunkan pencapaian akademik siswa karena kondisi ini sering disertai hambatan dalam kemampuan membaca dan menulis. Anak dengan ADHD umumnya mengalami masalah dalam pemrosesan bahasa, seperti keterampilan membaca awal, kesadaran terhadap bunyi-bunyi bahasa, serta kecepatan dalam menyebutkan kata atau symbol (Kóbor et al., 2015). Terkadang keluarga juga dapat mengalami tekanan emosional karena mengelola perilaku anak yang sulit diprediksi. Tanpa intervensi, ADHD dapat berlanjut hingga remaja dan dewasa, memengaruhi hubungan sosial dan produktivitas.
Strategi intervensi yang efektif mencakup terapi kognitif-perilaku, stimulasi sensori, pelatihan fungsi eksekutif, metode penghargaan berbasis token, serta pendekatan berbasis nilai spiritual. Di sisi lain, pendekatan pengasuhan seperti mindful parenting, pelatihan regulasi emosi, dan pembentukan resiliensi orang tua menjadi pondasi penting dalam keberhasilan intervensi (Yakin et al., 2025). Dari pernyataan tersebut menunjukkan bahwasannya pendekatan yang beragam menunjukkan bahwa penanganan ADHD tidak dapat mengandalkan satu metode saja, melainkan membutuhkan kombinasi intervensi yang menyentuh aspek kognitif, emosional, sensorik, hingga lingkungan keluarga agar perkembangan anak dapat berjalan lebih optimal.
Maka dari itu ADHD merupakan gangguan neurodevelopmental yang memengaruhi perhatian, kontrol impuls[4], dan kemampuan belajar anak. Gangguan ini berkaitan dengan perubahan struktur dan fungsi otak serta dapat diperparah oleh faktor lingkungan. Dampaknya terlihat pada prestasi akademik, keterampilan bahasa, serta interaksi sosial. Menurut saya, penanganan ADHD harus dilakukan secara komprehensif melalui kombinasi terapi perilaku, pelatihan fungsi kognitif[5], dukungan emosional, dan pola asuh yang tepat. Kolaborasi antara orang tua, guru, dan profesional[6] sangat penting agar anak mendapatkan lingkungan yang mendukung. Dengan intervensi yang konsisten, anak ADHD tetap dapat berkembang dan mencapai potensinya.
***
[1] Neurodevelopmental adalah istilah untuk gangguan yang berkaitan dengan perkembangan sistem saraf dan otak sejak masa kanak-kanak.
[2] Minder adalah perasaan rendah diri atau kurang percaya diri yang membuat seseorang merasa tidak mampu, tidak berharga, atau lebih rendah dibandingkan orang lain.
[3] Intervensi adalah tindakan atau strategi yang dilakukan untuk membantu atau memperbaiki suatu kondisi tertentu.
[4] Kontrol impuls adalah kemampuan seseorang untuk menahan tindakan tiba-tiba atau keinginan yang muncul tanpa pertimbangan.
[5] Fungsi kognitif adalah kemampuan mental seperti berpikir, mengingat, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan.
[6] Profesional adalah orang yang ahli atau memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu, seperti psikolog atau dokter.
Referensi
- Aprilia, E., & Oktaria, D. (2017). Kemampuan Akademik Penderita Attention Deficit – Hyperactivity Disorder (ADHD) pada Tingkat Perguruan Tinggi.
- Jurnal Majority, 7(1), 164–168. http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/1764
- Rokhim, A. (2017). Attention Deficit Hyperactive Disorder dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran. An-Nidzam: Jurnal Manajemen Pendidikan Dan Studi Islam, 4(1), 87–102.
- Yakin, M. A., Pabela, T., Kurniawan, A., & Nasution, M. F. (2025). Strategi
- Intervensi Dan Pendekatan Pengasuhan Anak Dengan Adhd : a Literature
- Review. JURNAL PSIMAWA Diskursus Ilmu Psikologi & Pendidikan, 8(1),
- 109–113. http://jurnal.uts.ac.id/index.php/PSIMAWA
*****
*) Penulis adalah Hafid Nur Bachtiar (Mahasiswa Universitas Brawijaya, Program Studi Psikologi angkatan 2025)






