Oleh: Jessica Halim (Mahasiswi Universitas Ciputra Surabaya yang tertarik dengan Digital Business)
Beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami ledakan startup digital. Narasi sukses pendiri muda, valuasi miliaran, hingga gaya hidup founder ala Silicon Valley menjadi inspirasi banyak Gen Z untuk “mendirikan startup sejak dini.” Tak sedikit yang menganggap gelar CEO di usia 22 adalah bentuk prestasi tertinggi.
Namun di balik keriuhan euforia ini, statistik berbicara lain. Laporan Google, Temasek, dan Bain & Company (2023) mencatat penurunan investasi digital Asia Tenggara sebesar 42%. Fenomena ini bukan sekadar akibat perlambatan ekonomi global, tapi mencerminkan masalah mendasar: banyak startup tumbuh cepat tanpa fondasi kokoh, lalu tumbang sebelum ulang tahun ketiganya.
Kita seperti sedang menyaksikan generasi yang jago memulai, tapi belum tentu siap bertahan.
Membangun Itu Mudah, Menumbuhkan Itu Seni
Startup sering diasosiasikan dengan kebebasan berekspresi, inovasi disruptif, dan ruang kerja penuh bean bag. Tapi ketika hype usai, yang tersisa adalah: bagaimana mengatur cash flow, menjaga kualitas produk, memperkuat customer retention, dan menghadapi dinamika pasar.
Zenius dan Fabelio bisa jadi contoh klasik. Di masa jayanya, keduanya dianggap pionir. Tapi ekspansi terlalu cepat dan lemahnya fondasi finansial membuat mereka goyah. Di sisi lain, Sayurbox dan Ruangguru menunjukkan pendekatan berbeda: pelan, fokus pada unit economics, dan terbuka terhadap pivot.
Dari sini, kita belajar bahwa scale-up bukan soal cepat, tapi cermat.
Psikologi Di Balik Euforia: Validasi Sosial dan Ilusi Keberhasilan
Banyak Gen Z membangun startup bukan semata karena peluang pasar, melainkan untuk mendapatkan validasi: dari investor, media, bahkan lingkungan sosial. Era media sosial melahirkan tekanan untuk tampil “berhasil” sejak muda. Maka tak heran jika banyak yang lebih sibuk membangun narasi, bukan produk.
Budaya “fake it till you make it” menjadi jebakan. Mereka terburu-buru membuat aplikasi, merilis MVP seadanya, pitching dengan buzzwords tanpa arah bisnis yang jelas, semua demi terlihat menjanjikan.
Padahal, keberhasilan sejati adalah saat startup mampu bertahan dan berkembang secara berkelanjutan, bukan hanya meraih spotlight sesaat.
Refleksi untuk Gen Z: Mulailah dengan Masalah Nyata, Bukan Tren Sementara
Membangun startup seharusnya berangkat dari masalah nyata yang ingin dipecahkan. Gen Z punya potensi besar: adaptif, digital native, dan penuh ide segar. Tapi potensi ini akan sia-sia jika tidak disertai disiplin belajar, keberanian melakukan iterasi, dan ketahanan menghadapi kegagalan.
Di sinilah pentingnya literasi startup yang utuh: tidak hanya soal pitch deck atau mencari investor, tapi juga memahami business model, hukum perlindungan data, hingga etika teknologi.
Peran Pemerintah: Menciptakan Ekosistem yang Tidak Sekadar Inklusif, Tapi Juga Sehat
Pemerintah Indonesia sudah banyak mendukung ekosistem digital melalui BEKRAF, Baparekraf, hingga kebijakan sandbox regulasi. Namun ke depan, arah regulasi perlu lebih strategis: memfasilitasi kolaborasi lintas sektor, memperkuat perlindungan konsumen digital, serta mendorong startup tidak hanya tumbuh, tapi juga tahan banting.
Regulasi yang tanggap, inkubasi berbasis kebutuhan lokal, dan sistem evaluasi startup yang lebih mendalam adalah investasi jangka panjang untuk ekonomi digital Indonesia.
Gen Z tidak kekurangan ide. Yang dibutuhkan sekarang adalah daya tahan dan kesabaran untuk menumbuhkan ide tersebut menjadi solusi nyata. Karena mendirikan startup hanyalah awal. Menjaganya tetap hidup dan relevan—itulah misi sesungguhnya.