Opini  

FOMO Digital, Remaja Kehilangan Diri di Tengah Budaya Takut Ketinggalan

Warta Times
Jennifer Alexis
Penulis: Jennifer Alexis. (Foto: Dok/Ist).

Oleh: Jennifer Alexis

“Kalau nggak ikutan tren, nanti dikira nggak gaul.”

“Temen-temen udah update semua, masa aku enggak?”

Dua kalimat ini mungkin terdengar biasa. Namun di baliknya, tersembunyi kecemasan sosial yang perlahan menjadi epidemi di era digital, terutama di kalangan remaja. Istilah FOMO atau Fear of Missing Out bukan lagi istilah asing ini adalah realitas sehari-hari bagi generasi muda yang hidup dalam pusaran algoritma dan tekanan eksistensi.

Dalam satu hari, remaja bisa terpapar ratusan unggahan dari gaya hidup selebriti, tren TikTok terbaru, hingga pencapaian akademik teman sekelas. Apa yang awalnya hanya ingin “mengikuti informasi” berubah menjadi dorongan obsesif untuk tidak ketinggalan. Mereka berlomba terlihat bahagia, produktif, dan menarik bahkan ketika kenyataannya tidak selalu demikian.

Digital, Tapi Tak Lagi Bebas

Alih-alih menjadi tempat eksplorasi, media sosial kerap menjadi cermin yang memantulkan ekspektasi sosial. Tak sedikit remaja yang akhirnya merasa tidak cukup baik karena membandingkan hidupnya dengan unggahan orang lain. Perasaan tidak aman, cemas, dan takut dianggap tertinggal menjadi efek samping yang nyata dari budaya digital ini.

Penelitian dari University of Glasgow (2017) menunjukkan bahwa penggunaan media sosial secara intens terutama di malam hari berkorelasi kuat dengan gangguan tidur dan penurunan kesejahteraan mental. Sementara studi dari Journal of Adolescence (2020) mencatat bahwa tingkat FOMO yang tinggi berhubungan erat dengan depresi, kecemasan, dan rendahnya harga diri pada remaja.

Lebih dari sekadar istilah, FOMO telah menjelma menjadi bentuk tekanan sosial baru, sunyi, tapi memukul keras.

Sekolah Harus Lebih dari Sekadar Mengajarkan Teknologi

Saat ini, literasi digital di sekolah masih sebatas pada pemahaman teknologi dan etika penggunaan internet. Padahal, dunia digital bukan sekadar soal gadget dan aplikasi, tapi juga menyangkut psikologi, emosi, dan relasi sosial.

Bayangkan jika sejak dini, remaja dibekali kemampuan untuk mengkritisi konten, memahami algoritma, dan mengenali sinyal bahaya tekanan sosial digital. Mereka akan lebih siap menghadapi dunia online tanpa kehilangan keseimbangan.

Karenanya, dibutuhkan regulasi yang lebih strategis dalam memasukkan digital wellness ke dalam kurikulum nasional. Literasi digital seharusnya menyentuh tiga aspek: pengetahuan, etika, dan kesejahteraan psikologis.

Tanggung Jawab Kolektif: Negara, Sekolah, dan Platform Digital

Menata ulang budaya digital bukan tugas satu pihak. Pemerintah melalui Kemendikbudristek dapat menginisiasi modul literasi digital yang menyentuh sisi emosional pengguna muda. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube juga dapat memperluas fitur screen time control, edukasi algoritma, hingga wellness reminder untuk pengguna usia remaja. Orang tua dan guru juga memegang peran penting dalam membentuk kesadaran sejak dini. Edukasi bukan tentang melarang, melainkan mendampingi dan membuka ruang diskusi yang sehat.

Menjadi Diri Sendiri Adalah Keberanian Terbesar

Pada akhirnya, yang dibutuhkan remaja bukan sekadar pengakuan dari dunia digital, tapi keberanian untuk menjadi diri sendiri. Bahwa tidak ikut tren bukan berarti gagal. Bahwa istirahat dari media sosial bukan berarti tidak eksis. Bahwa tidak membagikan semuanya bukan berarti tidak bahagia.

FOMO bisa dilawan. Tapi untuk itu, kita semua harus hadir,  bukan sebagai pengamat, tetapi sebagai pendamping. Karena di tengah dunia yang menuntut kita selalu hadir online, justru kehadiran nyata yang paling dibutuhkan.