Mengurai Dampak Bediding pada Kesehatan Psikologis Warga Kota

Warta Times
Dr. Listyo Yuwanto, Psikolog, FISQua, FRSPH dari Disaster Network. (Foto: Dok/Ist).

Wartatimes.com – Fenomena bediding, yaitu penurunan suhu drastis di malam hari akibat pengaruh angin muson Australia kembali terjadi di Indonesia. Meskipun merupakan dinamika iklim tahunan, tahun ini fenomena ini terjadi bersamaan dengan kemarau basah, menciptakan fluktuasi cuaca yang lebih ekstrem malam yang lebih dingin, siang yang tetap terik, serta kelembapan yang tidak stabil. Masyarakat perkotaan, dengan karakteristik tingkat mobilitas tinggi, ketergantungan pada teknologi, dan gaya hidup yang serba cepat, menghadapi tantangan adaptasi yang berbeda dibandingkan masyarakat pedesaan. Perubahan cuaca yang tidak menentu ini dapat memengaruhi kesehatan mental, produktivitas, dan kualitas hidup secara signifikan. Berikut adalah kajian Dr. Listyo Yuwanto, Psikolog, FISQua, FRSPH dari Disaster Network.

Dampak psikologis fenomena bediding pada masyarakat perkotaan cukup kompleks. Pertama, perubahan suhu yang ekstrem antara siang dan malam memaksa tubuh dan pikiran untuk terus beradaptasi, meningkatkan risiko weather stress (stres akibat cuaca). Masyarakat perkotaan yang sudah terbebani dengan tuntutan pekerjaan dan kehidupan sosial lebih rentan mengalami kelelahan kognitif, sulit tidur, dan penurunan mood. Kedua, suhu dingin di malam hari dapat mengganggu kualitas tidur, terutama bagi individu yang tidak terbiasa. Kurang tidur berpotensi meningkatkan emosi negatif, mudah marah, dan penurunan konsentrasi, yang berdampak pada kinerja kerja dan hubungan sosial. Ketiga, kombinasi udara dingin, kelembapan tidak stabil, dan potensi hujan lokal menciptakan ketidakpastian yang memicu kecemasan, terutama bagi pekerja lapangan dan pengendara motor.

Fenomena ini juga memengaruhi pola konsumsi masyarakat perkotaan. Banyak orang cenderung meningkatkan konsumsi kopi dan minuman berkafein untuk melawan rasa lelah akibat kurang tidur dan cuaca dingin. Namun, konsumsi berlebihan dapat memperburuk gangguan tidur dan meningkatkan kecemasan. Di sisi lain ada kecenderungan mengonsumsi makanan tinggi gula sebagai mekanisme coping untuk meningkatkan mood secara instan. Padahal fluktuasi gula darah justru dapat memperparah iritabilitas dan ketidakstabilan emosi dalam jangka panjang.

Selain itu, udara kering dan fluktuasi suhu dapat memperburuk gangguan pernapasan, alergi, dan dehidrasi, yang pada akhirnya memengaruhi stabilitas emosi. Karakteristik perkotaan seperti keterbatasan ruang hijau dan ketergantungan pada AC atau pemanas buatan juga membuat masyarakat lebih sulit beradaptasi dengan perubahan iklim alami.

Untuk mengatasi dampak tersebut, beberapa strategi adaptasi psikologis dapat diterapkan. Pertama, manajemen tidur yang optimal dengan menggunakan pakaian hangat, menghindari paparan gawai sebelum tidur, dan menciptakan ritual relaksasi seperti membaca atau meditasi. Kedua, menjaga hidrasi dan nutrisi dengan minum air putih lebih banyak serta mengonsumsi makanan hangat dan bergizi. Ketiga, menyesuaikan aktivitas harian dengan menghindari aktivitas fisik berat di luar ruangan saat suhu ekstrem dan memanfaatkan waktu pagi atau sore untuk berolahraga. Keempat, memanfaatkan malam yang dingin untuk kegiatan relaksasi seperti meditasi atau mendengarkan musik, serta mengurangi paparan berita negatif yang dapat memperburuk kecemasan. Terakhir, memonitor kesehatan mental dan segera mencari bantuan profesional jika muncul gejala kelelahan ekstrem atau kecemasan berlebihan.

Fenomena bediding tidak hanya berdampak pada kondisi fisik, tetapi juga kesehatan mental masyarakat perkotaan yang hidup dengan ritme cepat dan tingkat stres tinggi. Dengan memahami pola cuaca dan menerapkan strategi adaptasi psikologis, masyarakat dapat menjaga keseimbangan mental sekaligus memanfaatkan fenomena ini sebagai kesempatan untuk relaksasi dan perbaikan kualitas tidur. Seperti dikatakan Dr. Listyo Yuwanto, “Adaptasi yang baik terhadap perubahan iklim membutuhkan kesadaran akan dampaknya pada mental, serta langkah proaktif untuk menjaga kesejahteraan psikologis.”