Warta Times, Opini – Pendidikan di kota besar kini memasuki era baru karena kemudahan akses terhadap teknologi. Lingkungan urban menyediakan infrastruktur digital yang mendukung integrasi teknologi dalam aktivitas belajar-mengajar, termasuk kecerdasan buatan (AI). Di sekolah menengah hingga perguruan tinggi, siswa terbiasa menggunakan AI untuk mengerjakan PR, menganalisis teks, bahkan menyusun esai. Dalam konteks ini, guru tidak bisa sekadar melarang penggunaan AI, melainkan harus membimbing siswa untuk memahami, mengevaluasi, dan mempertanggungjawabkan hasil yang dihasilkan bersama teknologi tersebut.
Peran guru menjadi lebih kompleks dari sekadar penyampai materi. Ketika guru dituntut untuk memfasilitasi proses berpikir kritis, reflektif, dan kreatif di tengah penggunaan AI, di sinilah supervisi pendidikan dibutuhkan.
Supervisi pendidikan adalah proses pendampingan profesional yang bertujuan meningkatkan kualitas pengajaran. Ia bukan sekadar proses evaluatif, melainkan forum dialog antara guru dan supervisor untuk merefleksikan praktik kelas, menetapkan tujuan pengembangan, dan merancang strategi yang sesuai dengan dinamika siswa.
Tantangan utama pendidikan di kota besar bukan hanya soal beradaptasi dengan teknologi, tetapi juga pola supervisi yang masih kaku dan terlalu birokratis. Untuk menjawab tantangan ini, sistem supervisi perlu berubah menjadi proses yang lebih bermakna, relevan, dan sesuai dengan kondisi kelas nyata.
Pengawas dan kepala sekolah tidak bisa lagi menilai guru hanya dari kelengkapan dokumen. Fokus supervisi harus berpindah ke hal-hal yang benar-benar penting: Apakah guru memastikan siswa betul-betul memahami pelajaran, bukan cuma menyerahkan tugas? Apakah ada ruang diskusi di kelas untuk membahas hasil dari AI? Apakah guru bisa mengenali saat siswa hanya menjadi pengguna pasif teknologi?
Tanpa pendekatan supervisi yang responsif dan paham konteks kelas, guru berisiko terjebak dalam rutinitas administrasi yang tidak menyentuh inti pembelajaran—yaitu membuat siswa mampu berpikir dan memahami secara mandiri.
Dalam konteks ini, pendekatan supervisi klinis yang dikembangkan oleh Cogan (1973) dan disempurnakan oleh Goldhammer (1980) menjadi sangat relevan. Pendekatan ini menekankan pentingnya hubungan kerja sama dan percakapan dua arah antara guru dan pendamping sebagai mitra. Tujuannya bukan sekadar menilai, tetapi mendampingi guru agar mampu memahami situasi kelas dengan lebih tajam, mengevaluasi caranya mengajar, dan menyusun strategi yang sesuai dengan kebutuhan nyata siswa.
Sebagai penguat, strategi pelatihan dan pendampingan (coaching & mentoring) dapat diterapkan dalam praktik supervisi. Strategi ini membantu guru mengenali kekuatan dan tantangan mereka secara mandiri, menetapkan tujuan pengembangan diri, serta mencari solusi atas persoalan yang mereka hadapi. Di era AI, coaching bertujuan membantu guru menyusun cara belajar yang membuat siswa tetap aktif, kritis, dan berpikir mendalam saat menggunakan teknologi.
Kesimpulan
Penggunaan AI dalam pembelajaran tidak perlu dilarang, tetapi guru harus memastikan bahwa setiap siswa benar-benar memahami isi dan proses dari tulisan atau tugas yang mereka hasilkan. Tujuan akhirnya bukan hanya hasil kerja, tetapi pemahaman yang mendalam atas apa yang dipelajari.
Dengan model supervisi yang berfokus pada pendampingan dan dialog, bukan sekadar administrasi, guru diberdayakan untuk merancang tugas dan sesi pembelajaran yang menuntut siswa berperan aktif dan menjadi pengguna teknologi yang kritis dan bertanggung jawab.
*) Penulis adalah Arbian Hadinata, Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Semarang.