Opini  

Ucapan Maaf di Era Digital, Silaturahmi Zaman Now atau Hanya Sekedar Maaf di Ujung Jempol – Opini Agung Putra Mulyana

Agung Putra Mulyana Doctoral Student in Social and Behavioural Sciences

Dokumentasi Pribadi saat berkunjung di perpustakaan Asia E University, Malaysia. (Foto: Dok/Ist).

Warta Times, Opini – Setiap tahun, ketika Idul fitri tiba, tradisi saling bermaafan menjadi bagian penting dalam budaya masyarakat berinteraksi. Dahulu, momen ini identik dengan pertemuan langsung , jabat tangan, dan tatap muka yang penuh kehangatan atau yang biasa disebut silaturahmi. Namun, seiring berkembangnya teknologi terutama digital technology, cara orang menyampaikan permintaan maaf pun ternyata ikut berubah juga. Kini, ucapan “Minal Aidin wal Faizin” lebih sering dikirim melalui WhatsApp, media sosial, atau bahkan dalam bentuk status pribadi yang bisa diakses oleh banyak orang sekaligus. Fenomena ini mencerminkan bagaimana digitalisasi telah mengubah pola komunikasi masyarakat, termasuk dalam tradisi keagamaan dan interaksi sosial. Kemudahan yang ditawarkan oleh platform digital memungkinkan masyarakat untuk tetap terhubung meski terpisah jarak dan waktu.

Sebagai pengamat interaksi media sosial dan mahasiswa Ph.D dengan jurusan social & behavioural sciences di Asia E University, Malaysia. Saya melihat fenomena ucapan maaf melalui WhatsApp dan media sosial sebagai bagian dari perilaku evolusi komunikasi di era digital dalam konteks silaturahmi. Tradisi silaturahmi yang dulu dilakukan secara langsung kini bertransformasi ke ranah digital yang didukung teknologi terkini, memberikan kemudahan bagi banyak orang untuk tetap terhubung, terutama bagi mereka yang berjauhan. Namun, ada dua sisi dalam fenomena ini. Di satu sisi, digitalisasi ucapan maaf memungkinkan pesan dikirim dengan cepat dan luas. Namun di sisi lain, ada potensi pergeseran makna karena komunikasi digital sering kali kehilangan unsur emosi dan ketulusan yang lebih nyata dalam interaksi langsung.

Tren ini juga menunjukkan bagaimana media sosial telah menjadi ruang ekspresi sekaligus normalisasi kebiasaan baru dalam berinteraksi. Pertanyaannya, apakah ke depan makna silaturahmi dan saling memaafkan akan semakin tergeser oleh kepraktisan digital? Ataukah justru ini menjadi alat yang memperkuat hubungan karena memudahkan orang untuk tetap saling terhubung meski dalam keterbatasan waktu dan jarak? Bagaimana menurut Anda, apakah kebiasaan ini masih cukup bermakna atau sudah kehilangan esensinya?