Opini  

Framing Media Al Jazeera dalam Mengkonstruksi Narasi Terhadap Isu di Papua

Warta Times
Foto: Wawancara jurnalis Al Jazeera dengan warga lokal Papua Sumber: Al Jazeera

Oleh: Aisyah Nurkhasanah*

Letak Papua yang berada paling timur Indonesia membuat wilayah ini sudah sejak lama dikenal dalam simbol perjuangan serta penderitaan. Konflik berkepenjangan yang terus melanda sebagai akibat perlawanan antara kelompok separatis & aparat keamanan mengakibatkan banyaknya korban jiwa. Dalam mengatasi persoalan tersebut, maka munculah gerakan dari kelompok tertentu untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka yang dikenal dengan nama Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sayangnya, kehadiran kelompok ini justru menambah ketegangan dan memicu kekerasan yang tak kunjung usai. Oleh sebab itu, isu di Papua mendapatkan perhatian dari masyarakat internasional. Hal ini karena banyaknya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), penindasan, ketimpangan sosial, dan ketidakadilan yang menjadi isu sentral sehingga membutuhkan upaya penyelesaian. Dalam hal ini, maka media internasional dapat berperan dalam mengungkapkan situasi atau keadaan yang sebenarnya terjadi hingga masyarakat Papua menginginkan adanya kemerdekaan. Namun, dalam memberitakan isu ini sering kali terhambat karena adanya pembatasan akses yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk wartawan asing. Sulitnya mendapatkan izin serta pengawasan yang ketat juga menyulitkan untuk wartawan meliput isu di Papua.

Salah satu media internasional yang menyoroti tentang isu di Papua adalah Al Jazeera. Media ini dimiliki oleh Qatar Media Coorporation (QMC), yang mana kepemilikannya berada dibawah pemerintah Qatar. Dalam meliput isu di Papua, dibutuhkan riset yang mendalam mengenai dinamika konflik yang ada. Untuk mendapatkan izin akses berita biasanya mereka melakukan kolaborasi dengan pemerintah Indonesia, media lokal atau para aktivis untuk dapat memahami situasi dan budaya disana. Namun, tentunya harus ada izin terlebih dahulu ke pemerintah Indonesia, serta nantinya mampu untuk menerapkan etika jurnalisme dengan verikasi informasi serta melindungi identitas narasumber.

Isu yang sering diberitakan oleh portal berita Al  Jazeera yaitu didominasi oleh isu politik yang beragam, salah satunya dapat dilihat disini: https://www.aljazeera.com/program/the-stream/2019/9/5/should-west-papua-remain-part-of-indonesia/, pada pemberitaan ini menekankan pada referendum kemerdekaan Papua Barat, dengan menguraikan permasalahan yang sering dihadapi oleh masyarakat. Misalnya saja pada protes atas dugaan rasisme terhadap mahasiswa Papua yang kemudian berubah menjadi seruan untuk memerdekakan diri.

Foto: Philip Mehrtens yang ditahan oleh pejuang pro kemerdekan Papua. (Sumber: Al Jazeera)

Selain itu, isu HAM seperti pada kasus disanderanya pilot selandia baru oleh kelompok separatis juga dibingkai dalam media Al Jazeera. Dapat dilihat bahwa penculikan pilot Selandia Baru yaitu Philip Mehrtens yang sempat memanas kala itu turut menjadi perhatian global, lihat disini:https://www.aljazeera.com/news/2023/6/5/new-zealand-pilot-kidnapping-exposes-indonesias-papua-hotspot. Isu ini mendapat perhatian dari masyarakat internasional, dimana penyanderaan tersebut dilakukan untuk menekan pemerintah Indonesia agar dapat melepaskan Papua menjadi negara yang mampu untuk berdiri sendiri.

Selanjutnya ada isu sosial mengenai eksploitasi dari sumber daya alam yang dimiliki Papua yang dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan bisnis semata, lihat berita disini: https://www.aljazeera.com/opinions/2011/10/19/west-papua-a-history-of-exploitation. Narasi yang coba untuk dibangun Al Jazeera ialah memperlihatkan realitas yang dihadapi oleh warga Papua. Isu ini dinarasikan dengan melihat bahwa adanya ketidakmampuan pemerintah dalam mensejahterakan masyarakatnya. PT Freeport yang hadir tidaklah menguntungkan bagi rakyat Papua, yang terjadi justru eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Selain itu, deforestasi yang merusak lingkungan semakin menambah kerusakan alam. Kemudian marginalisasi terhadap warga  lokal yang meningkat juga turut menimbulkan stigma masyarakat yang “terbelakang”.

Analisis framing memainkan peran penting dalam penyajian berita oleh media. Melalui framing, media dapat membantu audiens untuk dapat memahami peristiwa dengan cara menyajikan narasi yang terstruktur. Menurut Robert N. Entman, analisis framing terdiri dari empat tahapan yaitu:

Pertama, Define Problems, munculnya gerakan separatis Papua Merdeka mendapatkan tanggapan negatif dari pemerintah Indonesia. Hal ini karena deklarasi kemerdekaan yang mereka inginkan dilihat sebagai tindakan pengkhianatan, lihat berita disini: https://www.aljazeera.com/opinions/2011/11/8/west-papuas-cry-for-help. Dalam narasi yang dimuat berisikan mengenai perjuangan masyarakat Papua yang tidak mendapatkan keadilan. Perlawanan yang diperjuangkan justru mendapatkan balasan penembakan. Bentrokan yang kerap terjadi antara aparat militer serta kelompok masyarakat kerap mewarnai ketegangan konflik tersebut. Rakyat Papua ingin masyarakat internasional melihat isu ini sebagaimana halnya isu yang ada di Timur Tengah. Usaha permohonan secara damai hingga kekerasan sudah dilakukan untuk menempuh kemerdekaan, namun hal tersebut diabaikan. Selain itu, pertumbuhan ekonomi dan otonomi khusus yang dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo pada awal jabatan keduanya sempat menimbulkan kerusuhan rakyat Papua, lihat berita disini: https://www.aljazeera.com/news/2019/9/16/west-papua-unrest-tests-indonesias-jokowi-as-second-term-begins. Janji yang dibawa oleh Presiden Jokowi justru menimbulkan protes karena bungkamnya sang Presiden akan meningkatnya tuntutan referendum Papua. Selain itu, berita lain juga menyoroti pada terlukanya puluhan orang terkait demonstrasi atas dugaan diskriminasi etnis, lihat berita disini: https://www.aljazeera.com/news/2019/8/24/dozens-wounded-detained-in-west-papua-crackdown-witnesses. Aksi demo ini diwarnai dengan kekerasan yang memaksa aparat keamanan untuk memukul mundur para mahasiswa. Namun, yang terjadi ialah kekerasan yang banyak menimbulkan korban jiwa. Menurut Haris Azhar dari Organisasi Hukum dan Hak Asasi Manusia, Lokataru telah mendesak pihak berwenang untuk menghukum pelaku yang terlibat. Namun, pihak berwenang justru menanggapi kerusuhan tersebut dengan mengumpulkan pengunjuk rasa, mengirim lebih banyak pasukan, dan memblokir internet di Papua. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Al Jazeera sebagai portal media berita dalam menarasikan isu di Papua sebagai pelanggaran HAM, pembatasan kebebasan pers, kesenjangan sosial, dan diskriminasi sehingga hal inilah yang menjadi landasan untuk mereka memerdekakan diri.

Kedua, Diagnose Causes, sejak integrasi Papua ke dalam NKRI, sebagian besar masyarakat Papua merasakan ketidakpuasan pembangunan. Meskipun secara politik sudah bergabung, namun secara ekonomi mereka masih terpinggirkan dan terjebak dalam kemiskinan.  konflik bermula sejak tahun 1960an dimana sudah ada keinginan Papua untuk menginginkan kemerdekaan. Kesenjangan yang dirasakan memicu untuk adanya kemerdekaan di kalangan masyarakat Papua. Pemerintah Pusat dinilai gagal dalam membangun kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan di Papua. Baca berita disini: https://www.aljazeera.com/opinions/2023/3/14/why-indonesia-is-losing-the-west-papua-conflict.  Hal ini juga didorong dengan pembangunan yang belum merata sehingga sulitnya untuk mengakses fasilitas pendidikan. Konflik kekerasan juga kerap kali terjadi sehingga masyarakat mengalami ketakutan serta ketegangan yang tak kunjung usai. Dalam hal ini pemerintah menjadi aktor utama dalam isu yang ada di Papua. Kebijakan serta keputusan yang diambil sangat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan sumber daya alam ke pihak swasta semakin menekan warga lokal dalam kemiskinan. Kegagalan dalam membangun kesejahteraan inilah yang melahirkan gerakan separatisme, marginalisasi, dan juga konflik kekerasan.

Ketiga, Make Moral Judgement, Al Jazeera dalam memberitakan isu di Papua lebih menyoroti pada pelanggaran HAM yang kerap terjadi. Selain itu eksploitasi sumber daya alam yang tidak bisa dinikmati oleh warga lokal hingga mendorong pada kemiskinan, padahal Papua sendiri memiliki SDA yang melimpah. Penyebaran isu dari media Al Jazeera melihat secara aktual kondisi yang sedang terjadi di Papua. Dinamika konflik yang berkepenjangan inilah yang coba ditunjukkan oleh Al Jazeera atas kesenjangan yang terjadi sehingga menimbulkan keinginan melepaskan diri dari Indonesia.

Keempat, Treatment Recommendation, pemberitaan yang dimuat dalam Al Jazeera menarasikan bahwa konflik yang terjadi ini belum dapat diselesaikan. Hal ini karena dialog damai atau keputusan yang akan diambil berujung pada perselisihan. Pemerintah dinilai tidak mampu dalam menyelesaikan konflik yang berkepenjangan. Selain itu, janji manis yang kerap kali disuarakan berbanding terbalik dengan implementasinya. Menurut Human Right Watch, perlu adanya investigasi khusus untuk menyelesaikan konflik ini agar dapat menghukum siapa yang salah. Baca berita disini: https://www.aljazeera.com/news/2019/10/8/indonesia-pressed-to-conduct-independent-inquiry-in-west-papua. Hal ini juga digunakan untuk mengurangi tindak kekerasan dalam melakukan operasi keamanan tersebut.

Posisi media Al Jazeera dalam menyoroti isu di Papua dapat dikategorikan sebagai media as issues intensifier. Hal ini didukung dengan pemberitaannya yang berdasarkan fakta lapangan, dimana kualitas informasinya akurat. Biasanya jurnalis Al Jazeera akan diturunkan secara langsung untuk melihat situasi yang terjadi dengan mewawancarai aktivis maupun pejabat pemerintah. Fokus pada isu yang diangkat juga menekankan mengenai pelanggaran HAM yang kerap kali di narasikan. Dalam berita: https://www.aljazeera.com/opinions/2023/3/14/why-indonesia-is-losing-the-west-papua-conflict melihat bahwa pemerintah Indonesia dianggap belum mampu untuk mengatasi isu di Papua yang berkepanjangan. Oleh sebab itu, narasi yang disampaikan berusaha untuk mengajak masyarakat internasional untuk lebih aware tentang isu Papua. Berita yang disajikan juga dapat membuka diskusi maupun opini publik terkait konflik tersebut. Pemberitaan yang coba untuk di uraikan media Al Jazeera kepada audiens tidak hanya berusaha menampilkan situasi yang terjadi, namun juga berisi kritikan terhadap kebijakan pemerintah dinilai merugikan masyarakat Papua karena tidak membawa pada kesejahteraan.

***

* Penulis adalah Mahasiswi Universitas Teknologi Yogyakarta, Prodi Hubungan Internasional